Mereka berjejer dalam kursi-kursi panjang itu
Tertidur pulas
Tanpa khawatir apa yang mereka bawa hilang
Mereka terbangun
Ketika jerit kereta meraung memekakan telinga
Mereka berteriak tanpa lelah
Yang mereka ingat hanya
"Kapan anakku makan?"
Tanpa rasa malu
Mereka naik dan kembali berteriak
Mereka terus menyelusuri lorong sampai akhirnya turun kembali
Ketika sang pembawa berhenti...
23/01/09
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
wah, kapan rien dikau naik kereta, jurusan mana ya? dasar pujangga, naik kereta aja bisa jadi puisi yg indah. salut
BalasHapushehheheeeeeee...jangan gt mas,, mukaku merah ne..
BalasHapusstasiun itu romantis buatku, hehehehehe... selalu ada cerita baik yang lepas atau yang datang selalu bikin hati bergumuruh, palagi kalo menyinggung afeksisasi kita wahhhh.,
BalasHapustabiek
senoaji
Kereta itu ibarat kehidupankah? Lagi2 menebak2 aja kok.. (^_^)
BalasHapussetuju kang nirmana....memang sang opujangga selalu bisa...yah
BalasHapuskalo udah dasarnya jiwa pujangga segala sesuatunya akan bisa drangkai dan diolah dengan manis............
BalasHapusnaik kereta sering kali membuat inspirasi jadi lebih banyak...
hehheeee....aduh mukaku merah ne..ehhehee....
BalasHapusKang hary selalu sama ne ama nirmana...:)
kak ega....manisnya kaya gula jawa atau gula putih ka? hehehheeeeeeee
Senoaji....betul bgt, kita punya kesamaan kang, stasiun oh stasiunnnnnnn..:D
G....iya ne main tebak-tebakan..tapi mang benar, sebuah tulsan kadang membuat kita bertanya tanya, Apa sebenarnya yang penulis ingin sampaikan..:)
hehehe... moga2 bukan kereta barang ya???..
BalasHapuseits tapi gpp juga kalo kere barang sembako.. hehehe... pisss
salam kenal ya from jambi
hehehe... moga2 bukan kereta barang ya???..
BalasHapuseits tapi gpp juga kalo kereta barang sembako.. hehehe... pisss
salam kenal ya from jambi